Tragedi Muhammad Alif: Saat Nyawa Bocah Tumbang oleh Sistem yang Tak Berbelas Kasih
Oleh: Nimrod Siahaan, S.Ak.
Ketua Pemuda Katolik Komisariat Daerah Kepulauan Riau
Sabtu malam yang kelam menjadi awal dari duka mendalam bagi keluarga Muhammad Alif, bocah 12 tahun, warga Kavling Sei Lekop, Sagulung, Batam. Dalam kondisi lemah dan membutuhkan perawatan, Alif dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Batam. Namun harapan mereka pupus ketika rumah sakit menolak memberikan rawat inap. Alasan yang diberikan: pasien tidak dalam keadaan darurat dan tidak bisa menggunakan BPJS Kesehatan untuk rawat inap.
Karena keterbatasan ekonomi, orang tuanya tidak sanggup membayar biaya pengobatan secara mandiri. Dengan berat hati, mereka membawa Alif pulang. Minggu dini hari, Alif menghembuskan napas terakhir. Ia meninggal dunia tanpa pernah mendapatkan pertolongan medis yang layak.
Peristiwa ini bukan sekadar kisah duka. Ini adalah peringatan keras bahwa sistem kita sedang kehilangan hatinya. Rumah sakit, sebagai pelayan masyarakat, seharusnya menjadi tempat penyelamatan, bukan sekadar institusi yang beroperasi atas dasar administratif dan teknis.
Sebagai Ketua Pemuda Katolik Komda Kepri, saya tidak bisa diam. Iman Katolik yang saya hidupi menyatakan bahwa setiap manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:27). Maka dari itu, setiap nyawa manusia memiliki nilai luhur dan tidak dapat dikorbankan oleh sistem yang tidak berpihak.
Dalam Compendium of the Social Doctrine of the Church, ditegaskan:
“The human person must always be the beginning, the subject and the goal of every social institution.”
(“Setiap pribadi manusia harus selalu menjadi awal, subjek, dan tujuan akhir dari setiap lembaga sosial.” – No. 106)
Lebih dari itu, Gereja Katolik melalui dokumen Gaudium et Spes (Konsili Vatikan II) menegaskan bahwa:
“Lembaga-lembaga sosial, termasuk negara, harus berfungsi sedemikian rupa sehingga mengutamakan kesejahteraan pribadi manusia, khususnya mereka yang lemah dan tertindas.”
(No. 29 dan 63)
Negara, melalui semua cabang pemerintahannya—termasuk rumah sakit umum—mempunyai kewajiban moral dan sosial untuk melindungi yang lemah, miskin, dan tak bersuara. Ketika pelayanan publik gagal menjangkau mereka yang paling membutuhkan, maka negara telah gagal dalam panggilan utamanya sebagai pelayan kesejahteraan umum (bonum commune).
Secara terpisah, Pembina Pemuda Katolik Kepri, Dr. Vandarones Purba, ST, SH, MH, mengecam keras peristiwa ini dan menyatakan:
“Janganlah masyarakat miskin dijadikan korban oleh sistem yang bobrok. Ini bukan lagi soal miskin atau kaya. Ini tentang nilai kemanusiaan yang kita abaikan secara sistematis.”
Saya menyampaikan ini bukan hanya sebagai suara dari seorang Katolik, tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang mencintai kemanusiaan. Iman saya mendorong saya untuk bersuara—bukan hanya untuk umat saya sendiri, tetapi untuk setiap orang yang menderita, tanpa memandang agama, suku, atau latar belakang sosial. Karena iman sejati tidak membatasi kasih, tetapi memperluasnya.
Nyawa Muhammad Alif harus menjadi pemantik perubahan. Kami menuntut evaluasi menyeluruh atas sistem pelayanan RSUD Kota Batam. Jangan ada lagi anak yang meninggal karena tak mampu. Jangan ada lagi keluarga yang kehilangan karena sistem yang kehilangan nurani.
Hari ini kita berkabung. Tapi mari kita berubah. Demi generasi yang akan datang, demi martabat manusia, dan demi iman yang harus dihidupi, bukan sekadar dihafal.