Oleh: Elis Hutabarat, S.Ag.
Guru Agama Katolik SMP & SMU di Batam | Pengajar Sakramen di Paroki Malaikat Agung Gabriel- Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Pemuda Katolik Komda Kepri
Di tengah gegap gempita dunia digital, di mana anak-anak kita lebih hafal tokoh anime dan tren TikTok daripada doa Bapa Kami, saya ingin bertanya dengan jujur dan keras: apakah kita sudah benar-benar menanamkan iman Katolik dalam hati mereka? Ataukah kita hanya menyerahkan segalanya pada sekolah, pada gereja, dan berharap keajaiban terjadi?
Saya menulis ini bukan karena saya putus asa, tapi karena saya peduli. Karena saya menyaksikan sendiri, dari tahun ke tahun, bagaimana anak-anak Katolik mulai kehilangan rasa hormat pada hal-hal kudus, mulai merasa bahwa misa itu beban, doa itu formalitas, dan gereja hanyalah tempat yang dikunjungi saat wajib.
Kita sedang kehilangan generasi—bukan karena mereka jahat, tapi karena kita lalai.
Iman Tidak Tumbuh Sendiri
Iman itu bukan warisan otomatis. Iman adalah benih yang harus ditanam, disiram, dijaga dari rumput liar. Dan siapa petaninya kalau bukan kita—orangtua, guru, pembina, dan para pewarta Injil?
Anak-anak kita tidak akan tiba-tiba mencintai Tuhan hanya karena mereka Katolik. Mereka harus melihat, merasakan, dan mengalami iman itu hidup di dalam keluarga mereka.
Mereka harus mendengar doa dari bibir orangtuanya. Mereka harus melihat salib tidak hanya di dinding, tapi di cara ayah dan ibu mereka memikul penderitaan hidup dengan iman. Mereka harus tahu bahwa sakramen bukan rutinitas, tapi perjumpaan dengan Allah yang hidup.
Sekolah & Gereja Bukan Tukang Sulap
Sebagai guru agama di beberapa sekolah di Batam, saya mencintai panggilan ini dengan segenap hati. Tapi saya juga ingin jujur: kami bukan pesulap. Kami bisa mengajarkan, tapi kami tak bisa menggantikan peran orangtua dan lingkungan rumah.
Apa gunanya anak tahu definisi sakramen, jika di rumah tidak pernah berdoa bersama?
Apa gunanya anak menghafal hukum kasih, jika yang mereka lihat di rumah adalah kekerasan, egoisme, dan kata-kata kasar?
Gereja Butuh Orangtua yang Mau “Turun Tangan”
Hari ini, saya menyerukan: Gereja tidak bisa bekerja sendiri. Imam tidak bisa membaptis dan membiarkan anak itu tumbuh tanpa pendampingan rohani dari keluarganya.
Kami para guru bisa menjadi jembatan, tapi Anda, para orangtua, adalah pondasi. Jangan bangga hanya karena anak ikut misa minggu. Tanyakan pada diri sendiri: apakah ia mencintai Tuhan atau hanya takut dimarahi?
Kita Sedang Bertarung Bukan dengan Dunia, Tapi dengan Kekosongan Jiwa
Iya, anak-anak kita dikelilingi teknologi. Tapi yang lebih menakutkan adalah jiwa-jiwa yang hampa, tak mengenal Tuhan, tak punya akar iman, tak tahu untuk apa mereka hidup.
Kalau kita tidak mulai sekarang, kita sedang mencetak generasi yang mungkin pintar, sukses, dan hebat—tapi kehilangan arah hidup.
Akhir Kata: Iman Anak Itu Tanggung Jawab Kita Bersama
Saya tidak menulis ini untuk menghakimi. Saya menulis ini karena saya takut. Karena saya melihat luka-luka kecil yang dibiarkan menjadi lubang besar dalam jiwa anak-anak Katolik kita. Karena saya ingin kita semua—orangtua, guru, dan Gereja—berhenti saling menyerahkan, dan mulai saling menopang.
Kalau kita ingin anak-anak kita mengenal Tuhan, kita harus terlebih dulu memperkenalkan Tuhan lewat hidup kita. Bukan cuma lewat kata-kata, tapi lewat kasih, pengorbanan, doa, dan keteladanan.
Jika anak-anak kita tak mengenal Tuhan, siapa yang harus disalahkan?
“Ajarlah seorang anak berjalan menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu.”
— Amsal 22:6. (red)